BAB I
PENGERTIAN FILSAFAT ISLAM
1. Apa itu Filsafat Islam
a. Adakah yang disebut
Filsafat Islam?
Dalam
buku Mulyadhi Kartanegara yang berjudul Gerbang Kearifan, beliau
mendiskusikan beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada
yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan bisa memiliki filsafat yang
independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah
pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan
bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi
adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para
filosof Muslim.
Ada
lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan
alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah
bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama
lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.
Adapun
beliau sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan
setidaknya 3 alasan :
1)
Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam
telah mengembangkan
sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan
dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan
tauhid dan syari’ah ini,sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk
filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut
(tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena
itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim
selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut,
sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para
filosof Muslim.
2)
Sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati
flsafat asing yang kritis.
Ketika dirasa ada kekurangan yang
diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka
mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering
dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik
pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan
yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan
al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika Aristotetles.
Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas pandangan Empedokles tentang jiwa,
karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam.
3)
Adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam,
akibat dari interaksi antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya
para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah
dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian,
mikraj dsb.
b. Lingkup Filsafat
Islam
Berbeda
dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah
dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas,
seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya.
Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh
cabang-cabang filosofis yang luas ini.
c. Pandangan Filsafat
yang Holistik
Satu
hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah
pandangannya yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang
telah saya jelaskan dalam karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di
bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai
sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan
pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai
sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang
klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai
macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodoogi dan
penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode
observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif
dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas
yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan
menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya
bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk
memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu,
filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman
intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal
ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi
ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada
juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf,
dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah
merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam
pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai
bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena
ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin
bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun
indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam
sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya,
seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang
tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama
realnya.
2. Peran Filsafat Islam dalam
Dunia Modern
a. Menjawab Tantangan
Kontemporer
Pada
saat ini, dalam pandangan Beliau (Mulyadhi Kartanegara), umat Islam telah
dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan
ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari
berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama
metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak
dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace
(w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi
hipotesa.Dan ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa
tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk
kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas
keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah
diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam. Demikian juga dalam bidang
biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewanhewan, karena menurut
Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam
sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection).
Menurutnya
hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak
ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan
engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah
agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan
telah berhenti menjadi pencipta hewan. Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941)
telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan
manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep,
muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan
eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya,
ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil
Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah
Masyarakat itu sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial
yang ada.
Dengan
demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki
tempat yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah. Tantangan
yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, rkologi
dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik,
atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab
tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata
bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah beliau melihat bahwa filsafat
Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.
b. Filsafat sebagai Pendukung
Agama
Berbeda
dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan
bagi agama, beliau (Mulyadhi Kartanegara) melihat filsafat bisa kita jadikan
sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat
serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa
bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan
sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena
menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara
ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa
Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin
bahwa Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.
Selama
ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya,
memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat
Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar
metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan
mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalah sangat potensial
untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan pendukung agama.
Di
sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama dari
berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di
atas. Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan
berbagai argumen adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof
Muslim, dari al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dll., seperti yang telah saya
jelaskan antara lain dalam buku saya Menembus Batas Waktu. Serangan terhadap
wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh
banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn
Rusyd, Mulla Shadra dll.
BAB II
Filosof Islam Dan Filsafat Nya
Tidak dapat dipungkiri bahwa
pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Filosof-filosof
Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan sangat tertarik dengan
pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil. Memang
demikianlah keadaan orang yang datang kemudian, terpengaruh oleh orang-orang
sebelumnya dan berguru kepada mereka. Kita saja yang hidup pada abad ke-20 ini,
dalam banyak hal masih berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi.
Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan hanya mengutip, sehingga harus
dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles,
seperti apa yang dikatakan Renan, atau dari neo-Platonisme, seperti yang
dikatakan Duhem, karena filsafat Islam telah menampung dan mempertemukan
berbagai aliran pemikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu
sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi
sumbernya pula.
Perpindahan dan pertukaran pikiran
tidak selalu berarti berhutang budi. Sesuatu persoalan kadang-kadang
dibicarakan dan diselidiki oleh orang banyak dan hasilnya dapat mempunyai
bermacam-macam corak: seseorang bisa mengambil persoalan yang pernah
dikemukakannya oleh orang lain sambil mengemukakan teori dan pikirannya
sendiri. Spinoza misalnya, meskipun banyak mengikuti Descartes, namun ia
mempunyai mazhabnya sendiri. Ibnu Sina, meskipun murid yang setia dari
Aristoteles, namun ia mempunyai pikiran-pikiran yang berlainan.
Filosof-filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan
dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filosof-filosof lain, dan
pengaruh-pengaruh lingkungan dan suasana terhadap jalan pikiran mereka tidak
bisa dilupakan. Pada akhirnya tidaklah bisa dipungkuri bahwa dunia Islam telah
berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan
keadaan masyarakat Islam sendiri.
Dalam sejarah, pertemuan Islam (kaum muslimin) dengan filsafat, terjadi pada abad-abad ke-8 masehi
atau abad ke-2 Hijriah, pada saat Islam berhasil mengembangkan sayapnya dan
menjangkau daerah-daerah baru. Dalam abad pertengahan, filsafat dikuasai oleh
umat Islam. Buku-buku filsafat Yunani, diseleksi dan disadur seperlunya, serta
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Minat dan gairah mempelajari filsafat dan
ilmu pengetahuan waktu itu begitu tinggi karena pemerintahlah yang menjadi
pelopor serta pioner utamanya.
Dua imperium besar pada masa itu, yakni Abbasiyah dengan ibu
kotanya Bagdad (di Timur), dan Umayyah dengan ibu kotanya Kordova (di
Barat) menjadi pusat peradaban dunia yang menghasilkan banyak orang bergelut
dalam dunia kefilsafatan. Untuk mengetahui sejarah perkembangan filsafat Islam,
maka kehadiran para filosof muslim dalam dunia kefilsafatan dari masa ke masa
harus ditelusuri.
Dalam sejarah perkembangan filsafat Islam, filosof pertama
yang lahir dalam dunia Islam adalah al-Kindi (796-873 M). Ide-ide al-Kindi dalam
filsafat misalnya, filsafat dan agama tidak mungkin ada pertentangan. Cabang
termulia dari filsafat adalah ilmu tauhid atau teologi. Filsafat membahas
kebenaran atau hakekat. Kalau ada hakekat-hakekat mesti ada hakekat pertama (الحق الأول) yakni Tuhan. Ia juga membicarakan tentang
jiwa dan akal.
Filosof besar kedua dalam sejarah perkembangan filsafat
Islam ialah al-Farabi (872-950 M). Dia banyak menulis buku-buku
tentang logika, etika, ilmu jiwa dan sebagainya. Ia menulis buku “Tentang
Persamaan Plato dan Aristoteles”, sebagai wujud keyakinan beliau bahwa filsafat
Aristoteles dan Plato dapat disatukan. Filsafatnya yang terkenal adalah
filsafat emanasi.
Selanjutnya, filosof setelah al-Farabi adalah Ibnu Sina
(980-1037 M). Nama Ibnu Sina terkenal akibat dua karangan beliau yakni al-Qanun
Fiy al-Tibb yang merupakan sebuah Ensiklopedia tentang ilmu
kedokteran yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 M,
dan menjadi buku pegangan di universitas-universitas Eropa, dan al-Syifa
al-Qanun yang merupakan Einsiklopedia tentang filsafat Aistoteles
dan ilmu pengetahuan. Di dunia Barat, beliau dikenal dengan Avicenna (Spanyol
Aven Sina) dan popularitasnya di dunia Barat sebagai dokter melampau
popularitasnya sebagai filosof, sehingga ia diberi gelar dengan “the Prince
of the Physicians”. Di dunia Islam sendiri, ia diberi gelar al-Syaikh
al-Ra’is atau pemimpin utama dari filosof-filosof.
Filosof selanjutnya adalah Ibnu Miskawaih (W. 1030 M). Beliau lebih dikenal
dengan filsafat akhlaknya yang tetuang dalam bukunya, Tahzib al-Akhlak.
Menurutnya, akhlak adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran yang dibawa sejak lahir. Kemudian ia
berpendapat bahwa jiwa tidak berbentuk jasmani dan mempunyai bentuk tersendiri.
Jiwa memiliki tiga daya yang pembagiannya sama dengan pembagian al-Kindi.
Kesempurnaan yang dicari oleh manusia ialah kebajikan dalam bentuk ilmu
pengetahuan dan tidak tunduk pada hawa nafsu serta keberanian dan keadilan.
Filosof berikutnya adalah al-Ghazali. Selain filosof, al-Gazali juga
termasuk sufi. Jalan yang ditempuh al-Ghazali diakhir masa hidupnya
meninggalkan perasaan syak yang sebelumnya mengganggu jiwanya. Keyakinan yang
hilang dahulu ia peroleh kembali.
Berdasar
dari uraian-uraian terdahulu, maka dapat dipahami bahwa perkembangan filsafat
Islam, pada mulanya terwariskan dari karangan-karangan filosof Yunani, kemudian
diterjemahkan kedalam bahasa Latin, dan berpengaruh bagi ahli-ahli fikir Eropa
sehingga ia diberi gelar penafsir (comentator), yaitu penafsir filsafat
Aristoteles.
Perkembangan filsafat Islam, hidup dan memainkan peran
signifikan dalam kehidupan intelektual dunia Islam. Jamal al-Dīn al-Afgani, seorang murid Mazhab Mulla Shadra
saat di Persia, menghidupkan kembali kajian filsafat Islam di Mesir. Di Mesir,
sebagian tokoh agama dan intelektual terkemuka seperti Abd. al-Halim Mahmud,
Syaikh al-Azhar al-marhum, menjadi pengikutnya.
Filsafat Islam di Persia, juga terus berkembang dan
memainkan peran yang sangat penting meskipun terdapat pertentangan dari
kelompok ulama Syi’ah. Tetapi patut dicatat bahwa Ayatullah Khoemeni, juga
mempelajari dan mengajarkan al-hikmah (filsafat Islam) selama berpuluh
puluh tahun di Qum, sebelum memasuki arena politik, dan juga Murtadha
Muthahhari, pemimpin pertama Dewan Revolusi Islam, setelah revolusi Iran 1979, adalah
seorang filosof terkemuka. Demikian pula di Irak, Muhammad Baqir al-Shadr,
pemimpin politik dan agama yang terkenal, adalah juga pakar filsafat Islam.
TOKOH-TOKOH
FILSAFAT ISLAM
1. AL-KINDI
Nama
lengkapnya Abu Yusuf, Ya’kub bin Ishak Al-Sabbah bin Imran bin Al-Asha’ath bin
Kays Al-Kindi. Beliau biasa disebut Ya’kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di
Kufah. Keturunan dari suku Kays, dengan gelar Abu Yusuf (bapak dari anak
yang bernama Yusuf) nama orang tuanya Ishaq Ashshabbah, dan ayahnya menjabat
gubernur di Kufah, pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari
Bani Abbas.
Nama
Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu
Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah
selatan Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Sebagai
orang yang dilahirkan di kalangan para intelektual, maka pendiidkan yang
pertama-tama diterima adalah membaca Al-Qur’an, menulis, dan berhitung.
Disamping itu ia banyak mempelajari tentang sastra dan agama, juga
menerjemahkan beberapa buku Yunani di dalam bahasa Syiria kuno, dan bahasa
Arab.
Al-Kindi
mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu Al-Nadim buku yang ditulisnya
berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, arithmatika, astronomi,
kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya. Dari
karangan-karangannya, dapat kita ketahui bahwa Al-Kindi termasuk penganut
aliran Eklektisisme; dalam metafisika dan kosmologi mengambil pendapat
Aristoteles, dalam psikologi mengambil pendapat Plato, dalam hal etika
mengambil pendapat Socrates dan Plato.
Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan antara kedua
hal ini; Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu
tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya.
Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki
perbedaan.
Mengenai hakikat Tuhan, Al-Kindi menegaskan bahwa Tuhan
adalah wujud yang hak (benar), yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia
selalu mustahil tidak ada, ia selalu ada dan akan selalu ada. Jadi Tuhan adalah
wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain, tidak berakhir
wujudNya dan tidak wujud kecuali denganNya.
Unsur-unsur filsafat yang kita dapati pada pemikiran
Al-Kindi ialah:
a)
Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah
filsafat.
b)
Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan
metafisika, meskipun Al-Kindi tidaksependapat dengan Aristoteles tentang
qadimnya alam.
c)
Pikiran-pikiran Plato
dalam soal kejiwaan.
d)
Pikiran-pikiran Plato
dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
e)
Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang
berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifatNya.
f)
Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan
dalam menakwilkan ayat-ayat Qur’an.
Haruslah diakui bahwa Al-Kindi
tidak mempunyai sistem filsafat yang lengkap. Jasanya ialah karena dia adalah
orang yang pertama-tama membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya
corak Arab keislaman. Pendiri filsafat Islam yang sebenarnya ialah Al-Farabi.
2. AL-FARABI
Ia
adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil
dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya
adalah seorang Iran dan kawin dengan seorang wanita Turkestan. Kemudian ia
menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari
keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Sejak
kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam
lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran,
Turkistan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan
Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah
besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat
pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada
Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Baghdad, ia memusatkan perhatiannya
kepada ilmu logika.
Al-Farabi
luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang
buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita
maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika,
kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik.
Sebagian
besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap
filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika,
etika, dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya,
namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles.
Di antara
karangan-karangannya ialah:
a. Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah.
b. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain
(Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof; maksudnya Plato dan Aristoteles).
c. Tahsil as-Sa’adah (Mencari
Kebahagiaan).
d. ‘Uyun al-Masail (Pokok-Pokok
persoalan).
e. Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadhilah
(Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama).
f. Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
Menurut Dr. Ibrahim
Madkour, filsafat Al-Farabi adalah filsafat yang bercorak
spiritual-idealis, sebab menurut Al-Farabi, dimana-mana ada roh. Tuhannya
adalah Roh dari segala Roh. Akal yang dikonsepsikannya yaitu ‘Uqul Mufariqah
(akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni, sedang kepala
negeri- utamanya, menguasai badannya. Roh itu pula yang menggerakkan
benda-benda langit dan mengatur alam di bawah bulan.
Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato,
Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga
pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri, yang
bukan filsafat stoa, atau Peripatetik atau Neo Platonisme. Memeng bisa
dikatakan adanya pengaruh aliran-aliran tersebut, namun bahannya yang pokok
adalah dari Islam sendiri.
3. IBNU
SINA
Ibnu
Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami
kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah
tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad
sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khilafah Abbasiyah, dikuasai oleh golongan
Bani Buwaih pada tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai
tahun 447 H.
Di
antara daerah-daerah yang berdiri sendiri ialah Daulah Samani di Bukhara, dan
di antara khalifahnya ialah Nuh bin Mansur. Pada masanya, yaitu di tahun 340 H
(980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara, Ibnu Sina
dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu
agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia
mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia
mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Belum
lagi usianya melebihi enam-belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran
sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru
kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, taoi juga melakukan
praktek dan mengobati orang-orang sakit.
Sebenarnya
hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak
panjang. Meskipun banyak kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik, sehingga
ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil
meninggalkan berpuluh-puluh karangan.
Karangan-karangan Ibnu Sina yang
terkenal ialah:
a. Asy-Syifa. Buku ini adalah buku
filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan trediri dari enpat
bagian, yaitu: logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan).
b. An-Najat. Buku ini merupakan
keringkasan buku as-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku
al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M
di Mesir.
c. Al-Isyarat wat-Tanbihat. Buku ini
adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden
pada tahun 1892 M, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis.
d. Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. Buku ini
banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan
naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika.
e. Al-Qanun, atau Canon of Medicine,
menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa
sampai akhir abad ketujuhbelas Masehi.
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus
terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku
yang khusus untuk soal-soal kejiwaan atau pun buku-buku yang berisi campuran berbagai
persoalan filsafat.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak
dapat diremehkan, baik pada dunia piker Arab sejak abad kesepuluh Masehi sampai
akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus, Albert the Great, Thomas
Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scott. Bahkan juga ada pertaliannya dengan
pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan wujudnya.
Hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan
bekerja dan mengarang; penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup
bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa
penyakit yang tidak bisa diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal
dunia di Hamadzan, pada usia 58 tahun.
4. AL-GHAZALI
Ia adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali,
bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di
Khurassan (Iran). Kata-kata al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali
(dengan dua z). dengan menduakalikan z, kata-kata al-Ghazzali diambil dari
kata-kata Ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayahnya
ialah memintal benang wol, sedang al-Ghazali dengan satu z, diambil dari
kata-kata Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir ini
yang banyak dipakai.
Al-Ghazali
pertama-tama belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan
akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun
478 H/1085 M. kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar,
dan dari padanya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia
diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu
dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain mengajar,
juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah,
Isma’iliyyah, golongan filsafat dan lain-lain.
Pengaruh
al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan
orang-orang ahli ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh
kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali.
Al-Ghazali
adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang
dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi
berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam
(Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi.
Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas dalam bahasa Arab dan yang lain
ditulisnya dalam bahasa Persia.
Karyanya
yang terbesar yaitu Ihya ‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu
Agama”, dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah
antara Syam, Yerussalem, Hijjaz dan Tus, dan yang berisi tentang paduan yang
indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum
Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya
yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi
sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap
beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara penulis-penulis
modern banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan autobiografi.
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan
sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui
kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, seperti yang terlihat dari sikapnya
terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran akidah pada masanya.
Namun demikian, al-Ghazali telah mencapai hakikat agama yang
belum pernah diketemukan oleh orang-orang yang sebelumnya dan
mengembalikan kepada agama nilai-nilai yang telah hilang tidak menentu. Jalan
yang terdekat kepada Tuhan ialah jalan hati dan dengan demikian ia telah
membuka pintu Islam seluas-luasnya untuk tasawuf.
Pengaruh al-Ghazali besar sekali di kalangan kaum
Muslimin sendiri sampai sekarang ini, sebagaimana juga di kalangan tokoh-tokoh
pikir abad pertengahan bahkan juga sampai pada tokoh-tokoh pikir abad modern.
5. IBNU BAJAH
Ia
adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh
atau Ibnu Bajah. Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai Ibnu
Bajah dengan “Avempace”, sebagaimana mereka menyebut nama-nama Ibnu Sina, Ibnu
Gaberol, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, masing-masing dengan nama Avicenna,
Avicebron, Abubacer, dan Averroes.
Ibnu
Bajah dilahirkan di Saragosta pada abad ke-11 Masehi. Tahun kelahirannya yang
pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil dan masa mudanya. Sejauh yang
dapat dicatat oleh sejarah ialah bahwa ia hidup di Serville, Granada, dan Fas;
menulis beberapa risalah tentang logika di kota Serville pada tahun 1118 M, dan
meninggal dunia di Fas pada tahun 1138 M ketika usianya belim lagi tua.
Menurut satu riwayat, ia meninggal dunia karena diracuni oleh seorang dokter
yang iri terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.
Buku-buku
yang ditinggalkannya ialah:
a.
Beberapa risalah dalam ilmu logika, dan sampai sekarang
masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
b.
Risalah tentang jiwa.
c.
Risalah al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dan
akal-faal.
d.
Risalah al-Wada’, berisi uraian tentang penggerak-pertama
bagi manusia dan tujuan yang sebenarnya bagi wujud manusia dan alam.
e.
Beberapa risalah tentang ilmu falak dan ketabiban.
f.
Risalah Tadbir al-Mutawahhid.
g.
Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain
dari Aristoteles, al-Farabi, Porphyrus, dan sebagainya.
Menurut Carra de Vaux, di
perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuskrip karangan Ibnu Bajah.
Diantara karangan-karangannya itu yang paling penting ialah risalah Tadbir
al-Mutawahhid yang membicarakan usaha-usaha orang yang menjauhi segala macam
keburukan masyarakat, yang disebutnya Mutawahhid, yang berarti “penyendiri”.
Isi risalah tersebut cukup jelas, sehingga memungkinkan kita dapat mempunyai
gambaran tentang usaha si penyendiri tersebut untuk dapat bertemu dengan
akal-faal dan menjadi salah satu unsur pokok bagi negeri idam-idamannya.
Ibnu Bajah telah memberi corak baru
terhadap filsafat Islam di negeri Islam barat dalam teori ma’rifat
(epistemology, pengetahuan), yang berbeda sama sekali dengan corak yang telah
diberikan oleh al-Ghazali di dunia timur Islam, setelah ia dapat menguasai
dunia pikir sepeninggal filosof-filosof Islam.
6. IBNU THUFAIL
Ia
adalah Abubakar Muhammad bin Abdul Malik bin Thufail, dilahirkan di Wadi Asy
dekat Granada, pada tahun 506 H/1110 M. kegiatan ilmiahnya meliputi kedokteran,
kesusasteraan, matematika dan filsafat. Ia menjadi dokter di kota tersbut dan
berulangkali menjadi penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal, ia menjadi
dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf al-Mansur, khalifah kedua daru daulah
Muwahhidin. Dari al-Mansur ia memperoleh kedudukan yang tinggi dan dapat
mengumpulkan orang-orang pada masanya di istana Khalifah itu, di antaranya
ialah Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas buku-buku karangan Aristoteles.
Buku-buku
biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu Thufail yang menyangkut
beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan
sebagainya, disamping risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibnu Rusyd.
Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu
saja, yaitu risalah Hay bin Yaqadhan, yang merupakan intisari pikiran-pikiran
filsafat Ibnu Thufail, dan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Suatu manuskrip di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmat
ai-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Filsafat Timur) tidak lain adalah bagian dari
risalah Hay bin Yaqadhan.
ibnu Thufail tergolong filosof dalam masa Skolastik Islam.
Pemikiran kefilsafatannya cukup luas, termasuk metafisika. Dalam pencapaian
Ma’rifatullah, Ibnu Thufail menempatkan sejajar antara akal dan syari’at.
Pemikiran tersebut sebenarnya merupakan upaya yang tidak pada tempatnya, sebab
syari’at sumbernya adalah wahyu (yakni : dari Tuhan), sedangkan akal merupakan
aktifitas manusiawi. Akal manusia sebenarnya hanyalah dampak mencari alasan
rasional bagi syari’at mengenai dalil-dalil adanya Tuhan.
7. IBNU RUSYD
Nama
lengkapnya Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun
520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan
dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang
hakim, dan kakeknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd)
adalah kepala hakim di Cordova.
Ibnu
Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat
Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena
menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan
menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan
dirinya.
Karangannya
meliputi berbagai ilmu, seperti: fiqih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi,
politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah
ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan,
atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka
tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk
mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah
diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus,
Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah.
Buku-bukunya
yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu:
a.
Bidayatul Mujtahid, ilmu fiqih. Buku ini bernilai tinggi,
karena berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqih dengan
menyebutkan alasannya masing-masing.
b.
Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min
al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya
persesuaian antara filsafat dan syari’at, dan sudah pernah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
c.
Manahijul Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku
ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan
kelemahan-kelemahannya, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman, juga oleh Muler, pada tahun 1895 M.
d.
Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan
filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela filsafat dari serangan
al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut
berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam
bahasa Inggris oleh van den Berg yang terbit pada tahun 1952 M.
Ibnu Rusyd adalah tokoh pikir Islam yang
paling kuat, paling dalam pandangannya, paling hebat pembelaannya terhadap akal
dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi filosof-pikiran dikalangan kaum
Muslimin.
Pada garis besar filsafatnya, ia mengikuti Aristoteles dan
berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang sebenarnya dari celah-celah
kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga berusaha menjelaskan
pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam lapangan ketuhanan, di
mana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai persoalan dan dalam
mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak jelas kepada kita.
Ketika hendak meninggal,
beliau (Ibnu Rusyd) mengeluarkan kata-katanya yang terkenal:
“Akan mati rohku karena matinya
filosof”.
BAB III
KESIMPULAN
Dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan
prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.
Nama Al-Kindi
adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah.
Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan
Jazirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Mengenai filsafat dan agama, Al-Kindi berusaha mempertemukan amtara kedua hal
ini; Filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu
tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya.
Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki
perbedaan.
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin
Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan
pada tahun 257 H (870 M). Sebagian besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri
dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenius,
dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika. Meskipun banyak
tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas
Aristoteles.
Di tahun 340 H (980 M), di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara,
Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan. Di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar
ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun.
Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah
itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi.
Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota
kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang
dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan
buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi
Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab
kesopanan, kemudian autobiografi. Sebagian besar dari buku-buku tersebut diatas
dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persia. Abubakar
Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan Ibnus-Shaigh atau Ibnu Bajah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan
Bintang, Jakarta : 1996
Sudarsono, Ilmu Filsafat – Suatu Pengantar, Rineka
Cipta, Jakarta : 2001
Mulyadhi Kartanegara, Masa Depan Filsafat Islam “antara
cita dan fakta”..Sebuah Paper
Tidak ada komentar:
Posting Komentar