Sejarah Ilmu Kalam dan Pemahaman Qada dan Qadar
Rasulullah SAW. diutus oleh Allah SWT. untuk menyampaikan Islam kepada
seluruh ummat manusia agar dijadikan sebagai aqidah dan pedoman hidup mereka
dan memusnahkan aqidah dan pedoman hidup mereka sebelumnya yang penuh khayal
dan khurafat, mereka diajak untuk berfikir dan merenungi realitas kehidupan,
manusia dan alam semesta serta mengkaitkan ketiganya dengan Allah al Khalik
al Mudabbir Sang Pencipta dan Sang Pengatur. Merekapun mengambil
Islamsebagai aqidahyang mampu memecahkan permasalahan utama(al-uqdatul
kubra) mereka sebagai manusia, yang diatasnya dibangun pandangan hidup,
juga mengambilnya sebagai peraturan yang terpancar dari aqidah Islam.
Dengan izin Allah, agama yang dibawa oleh rasulullah pun diemban oleh
banyak manusia sebagai qaidah fikriyah dan oleh Daulah Islamiyah
sebagai qiyadah fikriyah. Sesuai dengan fitrahnya sebagai agama yang
benar, tentunya agama ini terus bergerak dan diemban oleh daulah dan kaum
muslimin untuk di da’wahkan kepada umat dan bangsa lain yang belum menemukan
cahaya kebenaran Islam serta yang masih bergelut dengan khayalan dan khurafat
dari pedoman hidup mereka terdahulu. Sunnah ini terus dilanjutkan para khalifah
sesudah rasulullah wafat.
Kaum muslimin yang melakukan ekspansi da’wah dan futuhat di negeri-negeri
yang belum menerima cahaya Islam, menemukan pemikiran asing yang diemban oleh
orang-orang yang berada di negeri tersebut, yang hal itu sangat bertolak
belakang dengan pemikiran Islam, hal ini terjadi pada awal abad kedua
hijriyah.Negeri-negeri tersebut adalah India, Persia dan Yunani.Kaum muslimin
kemudian berupaya untuk memahami konsep pemikiran mereka yang berbeda tersebut
dengan maksud untuk menjelaskan kesalahan pemikiran mereka dan kemudian
mengajak mereka untuk masuk ke dalam agama yang mulia ini.Pemikiran mereka yang
asing inilah yang disebut dengan filsafat[1], yang kemudian dipelajari oleh ulama
Islam dengan maksud membekali diri dengan ilmu tersebut untuk membantah dengan
ilmu tersebut.Ilmu ini disebut dengan ilmu kalam, dan ulama yang mempelajarinya
disebut dengan ulama mutakalimin.
Aktifitas ini sendiri telah dilakukan oleh rasulullah semasa hayat beliau
terhadap orang-orang kafirbaik dari kalangan kaum musyrikin maupun ahlul kitab,
sehingga terjadi shiraul fikr, baik selama beliau berada di Madinah
manupun di Makkah, hal ini dikuatkan dengan perintah untuk berdebat dengan
mereka di dalam al Qur’an: “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”
(TQS. An-Nahl [16]:125); “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab
melainkan dengan cara yang paling baik.” (TQS. al-Ankabut [29]: 46).
Hal yang paling berperan dalam pemunculan ilmu kalam adalah interaksi kaum
muslimin dengan filsafat Yunani baik melalui penterjemahan buku-buku filsafat
Yunani maupun karena interaksi mereka dengan kaum Nasrani dan Yahudi,pemikiran
filsafat ini diadopsi oleh kaum Nasrani (Nasrani sekte Nestorian atau Nasathirah[2] dari Syiria, Nasrani sekte Mulkean[3] yang tersebar di Afrika, Andalusia,
dan sebagian besar wilayah Syam dan Nasrani sekte Jacobit dari Mesir) dan
Yahudi.Filsafat Yunani yang diadopsi oleh kaum Nasrani dibangun untuk
menguatkan aqidah trinitas mereka, yang hal itu memang sama sekali tidak
memiliki kesesuaian dengan fakta yang ada.Berbeda dengan filsafat yang dianut
oleh bangsa Persia dan India, dimana filsafat yang mereka bangun tersebut
inheren dengan konsep agama yang mereka anut saat itu.Kaum Nasrani mengenal filsafat
Yunani telah lebih dahulu ketimbang kaum muslimin yang kemudian digunakan untuk
membangun konsep aqidah trinitas (tatslith) mereka.Konsep ini yang
kemudian mereka gunakan untuk untuk berdebat dengan kaum muslimin.Sebagian kaum
muslimin dengan para ulamanya merespon kondisi ini dengan mempelajari dan
menjadikannya sebagai bahan diskusi dan perdebatan dalam rangka membantah kaum
Nasrani dan Yahudi, membela Islam dan menerangkan pemikiran-pemikiran al-Quran[4].Kaum muslimin mengambil konsep
filsafat Yunani sebagai pokok bahasan terutama dalam konsep ketuhanan
(sifat-sifat Allah) dan mantiq (logika).
Para
mutakallimin memiliki metode khusus dalam pembahasan, pengambilan keputusan dan
penetapan dalil terhadap suatu masalah, yang berbeda dengan metode al-Quran,
hadist, maupun perkataansahabat.Juga berbeda dengan metode para filsuf Yunani.
Para mutakalimmin tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, juga beriman dengan
apa yang dibawa oleh rasul-Nya, dengan asas inlah mereka berargumentasi dengan
dalil-dalil yang bersifat mantiqi serta memberikan akal kebebasan untuk
membahas segala sesuatu.Kondisi ini yang menyebabkan ilmu kalam menjadi ilmu
tersendiri di dalam khazanah peradaban Islam dan kemudian berkembang di
negeri-negeri kaum muslimin.Hal ini terjadi pada akhir abad pertama hijriyah
dan awal abad kedua hijriyah.
Munculnya Mu’tazilah
Pada saat inilah kemudian pemahaman mu’tazilah[5] muncul, dengan ulama Islam yang
membawanya pertama kali adalah Ma’bad al-Juhani (w. 80 H/701 M) dengan konsep La
Qadar (tidak ada taqdir).Kemunculan ide ini disebabkan oleh dua faktor,
pertama adalah karena kedzaliman penguasa (khalifah) Ummayah saat itu, terhadap
kaum muslimin di Basrah, Irak dan mengatakan bahwa itu semua merupakan taqdir
Allah yang menimpa mereka,hal ini kemudian dibantah oleh Ma’bad dengan
mengatakan bahwa nasib baik dan nasib buruk yang menimpa manusia adalah karena
mereka sendiri, bukan karena taqdir.Yang kedua adalah pengadopsian filsafat
Nasrani sekte Nestorian asal Syiria yang mendirikan sekolah filsafat di Gundisapur
yang memang berdekatan dengan Bashrah melalui perdebatan.Nasrani sekte
Nestorian sendiri mengadopsi konsep Filsafat Yunani aliran Epikureanisme[6] (Abiquriyyun) dengan
konsepnya yang menyatakan: ”Whereas our own actions are autonomous, and it
is to them that praise and blame naturally attach (dikarenakan
perbuatan-perbuatan kita adalah bebas, dan kepada merekalah (perbuatan-perbuatan
tersebut) dilekatkan pujian dan celaan),”. Pengadopsian filsafat ini dilakukan
sebatas memanfaatkan apa yang boleh dimanfaatkan sebagai media
pengargumentasian dalam rangka mempertahankan Islam (intifa’).
Ma’bad al-Juhani kemudian diperintahkan untuk dibunuh oleh Khalifah ke-5
Bani Ummayah yaitu Abdul malik bin Marwan (berkuasa dari tahun 71-84 H/692-705
M).Ide yang dibawa olehnya terus berkembang di Bashrah dan tahun 100 H/721 M
menjadi opini publik penduduk Bashrah.Ide ini dikembangkan oleh Ghaylan
al-Dimasyqi (w. ± 126 H/743 M) dan muridnya yang paling menonjol seorang ahli
hadist syam yang cukup populer di Syam yaitu, Makhul bin ‘Abdullah al-Dimasyqi
(w. 116 H/737 M).
Wasil bin ‘Ata’(nama keluarganya Abu Hudhyfah) (w. ± 131 H/752 M) lahir di
Madinah tahun 81 H/702 H. meneruskan konsep ini, konsepnya yang terkenal yaitu Hurriyatul
al Iradah (bebas berkehendak, freewill).Ia mendapatkan konsep ini
dari Abdullah bin Muhammad bi al Hanafiyyah ketika masih di Madinah, dan
semakin matang ketika ia telah berada di Bashrah, di kota ini ia menulis
kitab-kitab yang kemudian menjadi pegangan bagi para pengikutnya yang karenanya
ia dianggap oleh pengkaji pemikiran Islam seperti al-Nasysyar dan Majid Fakhry
sebagai pendiri mazhab Mu’tazilah.Hal ini berbeda dengan para pendahulunya yang
memang tidak meninggalkan kitab untuk menjadi pegangan bagi
pengikutnya.Diantara kitabnya adalah: al-Khatab fi al-Adl wa al-Tawhid,
al-Manzilah baina al-Manzilatayn, Asnaf al-Murji’ah, al-Sabil al-Ma’rifah
al-Haqq dan lainnya.
Tokoh lain mazhab ini adalah ‘Amr bin ‘Ubayd (w. 151 H/759 M).Lahir tahun
80 H/701 M, keturunan Persia.Ia sahabat karib sekaligus murid Wasil.Kitab yang
telah Ia tulis diantaranya adalah kitab al-Adl wa al-Tauhid, al-Radd ‘Ala
al-Qadariyyah, dan al-Tafsir ‘An al-Hasan. Tokoh lain yang
terkenal dari mazhab ini adalah Abu Hudhayl al-Allaf dengan muridnya Basyar bin
al-Mu’tamir (terkenal dengan konsep tawallud-nya) (134-226 H/755-847
M) tinggal di Bashrah, dan Abu ‘Ali al-Jubba’i (w. 303 H/924 M) juga tinggal di
Bashrah.
Mazhab ini dikenal juga dengan sebutan Qadariyyah, yang arti sebenarnya
adalah menjelaskan tentang kaum yang menjadikan masalah qadar sebagai isu
aqidah, sehingga qadariyyah juga mencakup mazhab Jabariyyah atau Jahmiyyah,
namun sebutan ini lebih dinisbatkan kepada mazhab Mu’tazilah.Secara umum mazhab
ini berkembang sejak zaman khalifah al-Mansur sampai khalifah al-Watsiq dari
bani Ummayyah, yaitu antara tahun 146-239 H/754-847 M. Setelah Khalifah
al-Watsiq digantikan oleh Khalifah al-Mutawakkil (239-253 H/847-862 M),
kebijakan pemerintah lebih mendukung as-Sunnah dan para pembelanya.
Munculnya Jabariyyah
Untuk
meng-counter konsep pemikiran Mu’tazilah, muncul figur Jahm bin Safwan
(w. 128 H/749 M).Ia lahir di kota Samarkand, Khurasan pada akhir abad pertama
hijriyah dengan nama keluarga Abu Muhriz yang kemudian tinggal di kota
Tirmidh.Para pengkaji pemikiran Islam seperti Abu Zahrah dan al-Qasimi sepakat
menyatakannya sebagai pendiri mazhab Jabariyyah.
Ide Jabariyyah (fatalisme) sesungguhnya juga berasal dari filsafat
Yunani yang didirikan oleh Zeno (336-264 SM) dari Citium pada tahun 305 SM yang
kemudian dikembangkan oleh para pengikutnya yang disebut dengan Stoisis[7] (Stoisisme atau Rawwaqiyyun).Konsep
ini terlihat dari pandangan Zeno yang disebut dengan teori ‘Ruang Kosong’ yang
disitir Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Physics: “Everything that
is in motion must be moved by something (segala sesuatu yang bergerak,
pasti digerakkan oleh sesuatu)”.Artinya, Zeno menyatakan bahwa tidak ada
gerakan atau motion secara mutlak yang terjadi dengan sendirinya.
Ide ini kemudian diadopsi oleh Bangsa Persia, kaum Yahudi Syam, Aliran agama
Manikeisme dan Zoroaster. Konsep kemudian menjadi pembahasan di kalangan kaum
Muslimin setelah futuhat-futuhat dilakukan di negeri-negeri ini dan seperti
yang telah disampaikan di atas, masuk semakin dalam melalui penterjemahan
buku-buku filsafat Yunani. Konsep ini dikaji oleh Iban bin Sam’an dari seorang
Yahudi Syam, yang kemudian disampaikan kepada al-Ja’d bin Dirham yang tak lain
adalah guru dari Jahm bin Safwan di Kuffah.Diyakini pula bahwa Jahm mendapatkan
konsep ini setelah berinteraksi dengan orang-orang Persia.Namun satu hal, bahwa
pengadopsian konsep ini hanyalah dalam bentuk intifa’ (kulit) saja dan
bukan ta’aththur[8].
Jabariyyah secara harfiyah berasal dari lafaz al-Jabr, yang
berarti paksaan.Lafaz ini merupakan antonim dari lafaz al-Qadr yang
berarti kemampuan.Secara terminologis, berarti menyandarkan perbuatan manusia
kepada Allah swt.Jabariyyah menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mazhab
kalam yang menafikan perbuatan manusia secara hakiki, dan menisbatkannya kepada
Allas swt. semata.
Munculnya Ahlussunnah
Makna
asal dari Ahlussunnah adalah orang-orang yang mengikuti metode al-Qur’an dan
al-Sunnah.Secara terminologis, ini merupakan predikat yang diberikan kepada
mazhab Asy’ariyyah yang didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (270-324
H/878-932 M).
Beliau
lahir di Basrah dan wafat di Baghdad. Menjadi terkenal setelah meng-counter
pandangan-pandangan gurunya, Abu ‘Ali al-Jubba’i salah seorang tokoh Mu’tazilah
Bashrah, namun ia tidak hanya meng-counter pandangan gurunya yang bermazhab
Mu’tazilah, tapi juga meng-counter pandangan Jabariyyah, yang semuanya
terangkum di dalam buku kecilnya al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah.Di
Samarkand (Uzbekistan) juga muncul Abu Mansur al-Maturidi (w. 336 H/944 M) yang
kemudian dianggap sebagai salah satu tokoh Ahlussunah.Demikian juga di Mesir,
Abu Ja’far al-Tahawi (w. 313 H/921 M).Dari mereka inilah mazhab Maturidiyyah
dan Tahawiyyah dinisbatkan.
Seperti
yang terjadi sebelumnya, bahwa kelahiran dari mazhab ini adalah karena
dilatarbelakangi oleh polemik yang terjadi antara Mu’tazilah dan Jabariyyah
dalam masalah aqidah dan penjabaran terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan
al-Sunnah yang bersifat mutasyabihat, termasuk dalam hal ini masalah qada dan
qadar, dan berusaha menjelaskan dan meluruskan pendapat dari dua mazhab ini
yang dianggap telah melenceng dari garis yang telah ditentukan oleh agama
Islam.Walaupun mereka (para pendiri mazhab ini) menganggap bahwa mazhab ini
mengikuti metode al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan menyatakan mengikuti Ahmad bin
al-Hanbal (w. 235 H/856 M) namun dalam kenyataannya mereka juga menggunakan
metode yang sama dengan metode yang dipakai oleh para mutakallimin sebelumnya,
bahkan kemudian ulama-ulama setelahnya (al-Iji dan Ibn Hazm wafat 456 H/1064 M)
menyebutkan bahwa mazhab ini pada hakikatnya adalah Jabariyyah juga dengan
perbedaan pada konsep kasb-nya saja
Perbedaan dalam Memahami Konsep Qadla dan Qadar diantara Mazhab
Penyebutan
Qadla dan Qadar dalam pembahasan para mutakallimin berkaitan dengan
permasalahan yang muncul ketika filsafat dari Yunani masuk ke dalam tubuh kaum
muslimin yang kemudian mereka ikut masuk ke dalamnya dan ikut membahasnya demi
menjelaskan konsep Islam terhadap permasalahan tersebut.Istilah ini disebut
juga dengan jabr dan ikhtiar atau hurriyatul iradah.Intinya adalah ‘apakah
perbuatan manusia itu bebas dari segi mewujudkannya ataupun tidak
mewujudkannya, ataukah manusia itu dipaksa’. Setelah itu pembahasan berkembang
kepada pembahasan ‘keadilan Allah’[9], dan masalah yang timbul dari
perbuatan manusia apakah hal tersebut diciptakan oleh manusia ataukah tidak
(konsep tawallud).
Mu’tazilah
mengatakan bahwa Qada dan qadar adalah tentang keinginan (iradah)
perbuatan seorang hamba dan apa yang timbul pada sesuatu berupa khasiat hasil
perbuatan manusia, seorang hamba bebas berkehendak dalam seluruh perbuatannya,
dan si hambalah yang menciptakan perbuatannya serta menciptakan khasiat yang
terdapat pada sesuatu yang berasal dari perbuatannya.Kemudian mereka menguatkan
pendapat mereka dengan ayat-ayat Qur’an, diantaranya, QS. Al-Mukmin [40]: 31;
QS. al-An’aam [6]: 148; QS. al Baqarah [2]: 185; QS. az Zumar [39]: 7; dan
menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan pendapat mereka
seperti misalnya, QS. al-Baqarah [2]: 6; QS. al-Baqarah [2]: 7 dan QS. An-Nisa
[4]: 155.
Jabariyyah
mengatakan bahwa manusia dipaksa (untuk melakukan suatu perbuatan).Manusia
tidak mempunyai kehendak (iradah) dan tidak mampu menciptakan
perbuatannya.Mereka mengatakan bahwa apabila kita katakan bahwa seorang hamba
menciptakan segala perbuatanya, itu berarti pembatasan terhadap kekuasaan Allah
dan itu berarti pula (kekuasaan Allah) tidak mencakup segala sesuatu.Seorang
hamba (dalam hal ini) adalah mitra (syarik) bagi Allah dalam
menciptakan apa yang ada di alam ini.Mereka menambahkan apabila kekuasaan Allah
yang menciptakannya maka manusia tidak ada urusan di dalamnya.Oleh karena itu
Allahlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan hamba dan dengan kehendaknya
pulalah seorang hamba melakukan perbuatannya, perbuatan hamba berada dibawah
kekuasaan Allah saja, dan kekuasaan hamba tidak memiliki pengaruh didalamnya.
Manusia dalam hal ini tidak lain hanyalah objek terhadap sesuatu yang Allah
jalankan atas tangan-Nya.Manusia itu dipaksa secara mutlak.Manusia dan benda
mati itu sama saja, tidak berbeda kecuali penampakannya. Ayat-ayat yang mereka
ambil diantaranya QS. Al-Anfal [8]: 17; QS. Al-Qashash [28]: 56; QS. At-Takwir
[81]: 29; QS. Az-Zumar [39]: 62.Kemudian menta’wilkan ayat-ayat yang menunjukan
keinginan (iradah) seorang hamba dan penciptaannya terhadap perbuatan-perbuatannya
agar sesuai dengan apa yang mereka konsepkan.
Mazhab Ahlussunnah kemudian berusaha menjelaskan dengan mengatakan
perbuatan hamba seluruhnya berdasarkan iradah dan masyi-ah Allah (keinginan dan
kehendak-Nya). Seluruh perbuatan hamba terkait dengan segala ketetapan-Nya.Yang
dimaksud dengan qada ialah al-maqdi (yang ditetapkan/dipenuhi),
maksudnya adalah peng-generalisir-an terhadap keinginan dan kekuasaan
Allah.Konsep yang paling menarik dari mazhab ini adalah teori Kasb Ikhtiari,
mereka mengatakan hamba memiliki perbuatan-perbuatan yang bersifat
ikhtiariyah.Diberi pahala jika perbuatan mengandung ketaatandan diberi sanksi
jika perbuatannya mengandung maksiat. Allah adalah pencipta segala sesuatu
sedangkan hamba adalah orang yang mengerjakan (kasb).Penciptaan Allah
terhadap perbuatansebagai reaksi dari kasb adalah khalqun
(penciptaan).Jadi perbuatan dikuasai oleh Allah swt. dari sisi penciptaan dan
dikuasai oleh hamba dari sisi pelaksanaan.
Dengan
kata lain Allah melakukan (hal yang lazim yaitu) menciptakan perbuatan ketika
hamba mampu (qudrah) dan berkeinginan (iradah), bukan karena
kekuasaan hamba dan iradahnya.Penggabungan ini yang disebut kasb.Ayat-ayat
Allah yang mereka sitir diantaranya, QS. As-Sajdah [32]: 17; QS. Al-Kahfi [18]:
29 dan QS. Al-Baqarah [2]: 286.
Lebih
jauh lagi para mutakallimin berusaha menerapkan lafadz –lafadz bahasa dan
syara’terhadap konsep qada dan qadar, sehingga ada yang mengatakan bahwa qada
adalah menghukumi secara keseluruhan dalam perkara yang bersifat kulliyat
(perkara yang menyeluruh) saja, sedangkan qadar adalah menghukumi secara
terperinci dalam perkara juziyyat (hal yang merupakan cabang) dan
perinciannya.Sebagian lagi mengatakan qadar adalah adalah rancangan, sedangkan
qada adalah pelaksanaan.Sebagian lagi mengatakan bahwa qadar adalah taqdir
(perkiraan) sedangkan qada adalah penciptaan.Adapula yang kemudian
menggabungkan pengertian dari konsep ini.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dilakukan di atas, kesalahan yang telah dilakukan
oleh para mutakalimin diantaranya adalah, pertama, dalam berargumentasi, metode
ini bersandar kepada asas mantiq atau logika bukan bersandar pada hal yang
bersifat indrawi.Yang kedua adalah mereka membahas berbagai perkara diluar dari
fakta yang dapat diindra melampaui kepada batas perkara yang tidak dapat
diindra.Ketiga, mutakallimin telah memberikan kepada akal kebebasan untuk
membahas segala sesuatu, baik perkara yang dapat diindra maupun perkara yang
tidak dapat diindra.Keempat, metode mutakallimin telah menjadikan akal sebagai
asasuntuk membahas persoalan apapun tentang keimanan, mereka akhirnya
menjadikan akal sebagai asas bagi al-Qur’an, dan bukan sebaliknya, menjadikan
al-Qur’an sebagai asas bagi akal. Terakhir, para mutakallimin menjadikan
pertentangan para filsuf sebagai asas dalam pertentangan mereka, mereka
terjebak dengan menjadikan aqidah sebagai topik pembahasan yang bersifat teori
dan polemik dan tidak lagi menjadikannya sebagai sebagai topik da’wah dan
landasan dalam memahami Islam dan mereka tidak berhenti pada batas-batas yang
telah ditetapkan.
Metode mereka ini bertentangan dengan metode al-Qur’an, karena al-Qur’an
hanya membahas tentang alam semesta, mengenai benda-benda yang ada, tentang
bumi, matahari, bulan, bintang, binatang, manusia, segala makhluk melata, unta,
gunung dan lainnya yang termasuk perkara yang dapat diindra.Dari situ mampu
menjadikan seseorang sadar tentang adanya pencipta segala yang ada yang
diperoleh melalui pengindraannya terhadap segala sesuatu yang ada. Tatkala
membahas sesuatu yang ada dibalik alam semesta, maka al-Qur’an mensifatinya
sebagai fakta dan menetapkannya sebagai suatu fenomena seraya memerintahkan
mengimaninya dengan perintah yang pasti.Dan al-Qur’an tidak memerintahkan hamba
untuk memikirkannya lebih jauh.Inilah metode yang difahami oleh para
sahabat.Wallahu a’lamu bishawab.Ç
Maraji’:
An Nabhani, Taqiyuddin, 2003. Syakhsiyah Islamiyah
juz 1 (Kepribadian Islam). Pustaka Tariqul Izzah, Bogor
An Nabhani, Taqiyuddin, 2001. Peraturan Hidup
dalam Islam. Pustaka Tariqul Izzah. Bogor
Kattsof, Lois O. 1992. Pengantar Filsafat.Tiara
Wacana Yogya, Yogyakarta
Wahid, Muhammad Maghfur, 2003. Koreksi atas
Kesalahan Pemikiran kalam dan Filsafat Islam. Al Izzah. Bangil.
[1] Begitu
banyak definisi yang dibuat untuk menjelaskan maknanya, namun jika merujuk
kepada kamus filsafat, maka filsafat berarti 1. upaya spekulatif untuk
menampilkan pandangan sistematik dan komplit tentang seluruh realitas. 2. upaya
untuk mendeskripsikan hakikat realitas yang ultima dan sejati. 3. upaya untuk
menentukan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan kita, sumber, sifat,
keabsahannya, dan nilainya. 4. penyelidikan kritis atas praduga-praduga dan
klaim-klaim yang dibuat olehberbagai bidangpengetahuan. 5.disiplin yang
berusaha untuk membantu anda melihat apa yang anda katakana, dan mengatakan apa
yang anda lihat.
[2] Sekte
Nasrani pengikut Nestor yang bijaksana.Tetapi dalam komentarnya, Ahmad Fahmi,
editor al mihal wa al-Nihal, menyatakan bahwa ada pendapat yang menyebut
tentang penisbatan nama Nestorian kepada Nestorius, pendeta di Constatinople,
yang menyatakan bahwa Maryamtidak melahirkan tuhan, tetapi melahirkan manusia,
hanya kehendaknya sama dengan Tuhan, sedangkan Zatnya berbeda.Sekte ini berada
di Persia, Irak, Jazirah Arab, Moshul hingga sungai Furat.
[3] Sekte
Nasrani yang lahir di Romawi.Mereka berpendapat bahwa kalam telah menyatu
dengan tubuh al-Masih.Mereka berpendapat bahwa substansi tidak sama dengan
oknum, yang mirip dengan sifat dengan objek yang disifati.Al-Masihadalah Tuhan
dan manusia secara utuh, dimana oknum yang satu dengan lain tidak berbeda.Jadi
maryam telah melahirkan Tuhan dan manusiayuang keduanya adalah anak Allah, yang
disalib ketika disalib adalah oknum manusianya sedangkan oknum Tuhannya tidak.
[4] Diantaranya
adalah usaha membantah konsep ketuhanan Nasrani yang mengatakan al-Masih adalah
tuhan, sedangkan dalam pandangan Islam al-Masih adalah kalimatu-Llah.Dalam
hal ini Yuhana al-Dimasyqi berusaha membuat sintesis dari pertentangan ini
untuk menjustifikasi konsepsi teologisnya, dengan mengatakan bahwa jika
al-Masih adalah kalimatu-Llah, dan kalimatu-Llah adalah qadim, maka al-Masih
adalah Tuhan.Dalam konteks inilah muncul bantahan dari kalangan ulama (Ja’ad
bin al-Dirham, Jahm bin Safwan dan Wasil bin ‘Ata’) yang mengatakan bahwa kalam
Allah adalah baru dan makhluk.
[5] Ada dua
versi mengenai penyebutan nama Mu’tazilah, yang pertama adalah sebutan itu
diberikan oleh pengikut Hasan al-Basri kepada Wasil.Sedangkan yang kedua adalah
sebutan Qatadah (w. 117 H/738 M) ulama setelah Hasan al-Basri untuk ‘Amr bin
‘Ubayd dan pengikutnya.Kata Mu’tazilah sendiri berasal dari kata I’tizal yang
berarti melepaskan diri dari kebatilan.
[6] Epikurean
adalah aliran filsafat yang disandarkan pada nama penggagasnya, yaitu Epicurus
(341-270 SM).Epicurus adalah penganut aliran Naturalisme, yaitu aliran yang
membahas tentang alam, dengan tokoh yang terkenal adalah democritus.Epicurus
juga disebut-sebut sebagai pengasas aliran Hedonisme, yaitu aliran filsafat
yang mengajarkan tentang kebahagian dan cara memperolehnya, antara lain dengan
pembebasan manusia dari perasaan takut dan sakit.
[7] Bahasa
Yunani, Stoa, yaitu nama gedung yang digunakan untuk mengajarkan filsafat ini.
[8]Bentuk pengaruh peradaban kepada orang atau bangsa
tertentu tidak terbatas pada aspek kulitnya, melainkan telah meliputi
substansinya, kemudian peradaban tadi dicoba untuk dikompromikan dengan
peradaban orang tersebut.
[9]Mazhab Mu’tazilah mengatakan bahwa hal tersebut
mensucikan Allah dari perbuatan dzalim, mereka mengatakan bahwa keadilan Allah
tidak bermakna kecuali dengan mengatakan bahwa manusia itu bebas berkehendak,
sehingga hamba menjadi hak untuk dihukumi sesuai dengan perbuatannya.Dari
pernyataan inilah timbul pembahasan dari para mutakallimin yang berusaha
membantah pandangan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar