KEUTAMAAN
BERILMU (Sebuah Kajian Hadist Tarbiyah)
Ditulis
Oleh A.Aziz Rahmani, S.Pd Pada Selasa, 25 Agustus 2015 (10 Dzulqaidah 1436 H)
BAB
I PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Ilmu
merupakan suatu fadilah dan kemulian yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki
oleh Allah SWT. Orang yang diberikan kesempatan oleh Allah SWT memiliki ilmu
yang banyak, maka dia sesungguhnya telah mendapatkan suatu anugerah dan manfaat
yang besar sekali dengan ilmunya tersebut. Karena dengannya dia dapat
mengetahui dan memahami makna dari kehidupan ini secara benar dan hakiki.
Ilmu
merupakan sebaik-baiknya perbuatan amal shaleh, ia juga merupakan
sebaik-baiknya amal ibadah yaitu ibadah sunnah, karena ilmu merupakan bagian
dari jihad di jalan Allah SWT. Jika kita berpikir sejenak, dapat diketahui
bahwa Agama itu terdiri dari 2 unsur yaitu Ilmu dan Petunjuk.
Mengutip
kata-kata bijak dari seorang penyair “Ilmu adalah kehidupan hati yang buta,
cahaya penglihatan dari kegelapan dan kekuatan bagi kelemahan badan, dengannya
seorang hamba mencapai derajat orang-orang yang baik dan derajat yang paling
tinggi”. Mengingat Ilmu sebanding (pahalanya) dengan puasa dan
memepelajarinya sebanding dengan Shalat Malam. Ilmu adalah Imamnya amal
perbuatan, amal perbuatan adalah pengikutnya. Ilmu memberikan ilham kepada
orang-orang yang berbahagia dan menjauhi orang-orang yang menderita.
Maka
kedudukan Ilmu menjadi lebih tinggi dari Amal perbuatan. Ilmu dalam gramatikal
bahasa arab terdiri atas tiga konsonan huruf hijaiyah yaitu ((ع‘ain,
((لlam dan (
(مmim. Huruf hija’iyah ((ع‘ain
mencirikan bahwa orang yang berilmu itu memiliki kedudukan yang tinggi baik
dalam tatanan sosial kemasyarakatan ataupun dalam struktural jabatan pada
sebuah instansi atau perusahaan. Selanjutnya, Huruf ((لlam
pada kata tersebut melambangkan sifat lemah lembut (bahasa arab : latifah) artinya orang yang berilmu
memiliki sifat lembah lembut, rendah hati, sopan dan santun baik dalam bertutur
kata ataupun dalam perbuatan. Kemudian huruf (
(مmim mim terhubung dengan kata Mahabbah (kasih sayang)
artinya orang berilmu cenderung memiliki sifat penyayang, pengayom dan memiliki
jiwa penolong.
Ilmu
dapat membawa seseorang kepada kebahagiaan karena dapat memberikan kemudahan
dan kemewahan hidup bagi penggunannaya. Akan tetapi apa yang mampu dicapai ilmu
dan dilakukan para ilmuwan (orang yang berilmu) hanyalah sebatas pada hal
mendapatkan (kemudahan dan kemewahan) bukan menciptakan kebutuhannya. Bukan itu
saja akan tetapi dalam berbagai pintu rezeki di dunia ini, pencapaiannya tidak
bisa mencapai dan meningkat hingga ke dasar-dasar kehidupan, karena kebutuhan
hidup sudah tercipta berkat Kodrat Iradat Allah SWT.
Sebagaimana hal
tersebut diatas sebenarnya sudah diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis
yang berbunyi :
“ Barangsiapa yang menginginkan kehidupan (kemudahan dan kemewahan)
hidup di dunia maka haruslah dengan ilmu, barang siapa menginginkan kehidupan
(kemudahan dan kemewahan) hidup di akhirat haruslah dengan ilmu dan barangsiapa
pula yang mengingankan keduanya maka haruslah dengan ilmu.
Hadist tersebut
secara mendalam menyiratkan pentingnya dan utamanya sebuah ilmu.
2.
RUMUSAN
MASALAH
a)
Menerangkan
Sanad, Matan dan Rawi Hadist
b)
Menjelaskan
Terjemahan Hadist
c)
Menjelaskan
Tentang Keutamaan Ilmu dan Berilmu
d)
Menerangkan
Hubungan Imu dan Amal
3.
TUJUAN
a)
Mengetahui
Musnid (orang yang disanadkan dalam hadis), matan isi hadis dan
siapa yang meriwayatkannya
b)
Mengetahui
dan memahami makna dari terjemahan hadist baik tersurat maupun tersirat
c)
Mengetahui
dan memahami keutamaan ilmu dan orang berilmu
d)
Mengetahui
dan memahami hubungan antara ilmu dan amal
BAB
II PEMBAHASAN
1.
Sanad, Matan dan
Rawi Hadist
Berikut
adalah sebuah hadist yang patut direnungkan bersama yang menjelaskan mengenai
keutamaan orang yang berilmu (agama) dan yang mendakwahan ilmu.
Dari Abu Musa , Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam :
مثل ما بعثنى ا لله به من ا لهد ى والعلم كمثل الغيث الكثير آصاب آرضا
فكان منها نقية قبلت الماءفا نبتت الكلا
و الغشب الكثيروكانت منها اجادب امسكت آلماءفنفع الله بهاالناس
فشربواوسقواوزرعواواصاب منها طاافة اخرى
انما هى ق يعانل لا تمسك ماءولا تنبت كلا فذلك مثل من فقه فى دين الله
ونفعه ما بعثنى الله به فعلم وعلم ومثل من
لم يرفع بذ لك ر آساولم يقبل هدى ا لله الذى آرسلت به (رواه الشيخان)
Hadist ini
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Turmudzi dengan sanad yang hasan.
A.
Sanad
Sanad menurut bahasa artinya sandaran, sedangkan menurut istilah ahli
hadist yaitu jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadist.
Hadist tersebut
diatas sebagaimana kita ketahui adalah berasal dari Abu Musa. Abu Musa sendiri
adalah termasuk ke dalam salah seorang Sahabat Nabi. Oleh karena hadist ini
dikabarkan oleh orang seorang dari kalangan sahabat sehingga kemudian tersebar
luas. Ini dapat digolongkan kepada hadist yang masyhur.
Adapun dari
segi sanadnya para ulama hadis menggolongkan Abu Musa ke dalam derajat sanad
(sandaran) yang hasan (satu tingkat dibawah derajat shahih)[1].
B.
Matan
Matan menurut bahasa artinya belakang jalan (muka jalan). Matan
kitab yang tidak bersifat komentar dan bukan tambahan-tambahan. matan lughat
yaitu : kata-kata tunggalnya sedangkan matan dalam ilmu hadist ialah
penghujung sanad yakni sabda Nabi yang disebut sesudah habis disebutkan sanad.
Adapun yang
menjadi matan (isi hadist) adalah
مثل ما بعثنى ا لله به من ا لهد ى والعلم كمثل الغيث الكثير آصاب آرضا
فكان منها نقية قبلت الماءفا نبتت الكلا
و الغشب الكثيروكانت منها اجادب امسكت آلماءفنفع الله بهاالناس
فشربواوسقواوزرعواواصاب منها طاافة اخرى
انما هى ق يعانل لا تمسك ماءولا تنبت كلا فذلك مثل من فقه فى دين الله
ونفعه ما بعثنى الله به فعلم وعلم ومثل من
لم يرفع بذ لك ر آساولم يقبل هدى ا لله الذى آرسلت به
C.
Rawi Hadist
Riwayat
menurut bahasa : memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang
lain. Menurut ilmu hadis :”memindahkan hadist dari seseorang guru kepada orang
lain, atau mengklasifikasikan ke dalam kategori hadist. Pemindah hadis itu
dinamai rawi, rawi pertama
adalah sahabat dan rawi terakhir adalah yang menuliskannya ke dalam kitab
hadist. Seperti Bukhari dalam Kitab Sahih Bukhari ataupun dalam kitab
hadist yang lain.
Adapun
mengenai hadist tentang keutamaan bagi ilmu dan yang memilikinya (berilmu)
diatas diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Turmuzi sehingga disebut Syaikhain
(dua orang syaikh hadis). Syaikhain ini menyusun kitab hadis As Sunan yaitu suatu kitab hadis yang
pengarangnya tiada memasukkan kedalamnya hadist yang mungkar dan sejenisnya.
Adapun hadis-hadis dhaif yang tidak mungkar dan tidak sangat lemah, terdapat
juga di dalamnya dan kebanyakan diterangkan akan kedhaifannya oleh pengarang
kitab itu sendiri. Kitab hadis yang ditulis oleh dua imam ini tersusun pada
abad ketiga hijriah.
2.
Terjemahan Hadist
“Permisalan petunjuk dan ilmu
yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat)
yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Diantaranya juga ada
tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap
kedalamnya) maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk
banyak orang, sehingga manusia dapat
mengambil air minum dari tanah ini. lalu manusia dapat memberi minum untuk
hewan ternaknya dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya, jenis tanah
ketiga adalah tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa
menyerap air). inilah permisalan orang yang memahami Agama Allah dan dia
mengajarkan kepada orang lain. dan demikianlah orang yang tidak mengangkat
kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku
untuk membawanya (HR.Syaikhain)
Selain
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At Turmuzi. Imam Bukhari dan Imam
Muslim membawakan hadist ini dalam kitab Shahihnya pada bab “orang
yang berilmu dan mengajarkan ilmu.” Imam An Nawawi membawakan hadist ini
dalam Shahih Muslim pada bab “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah
mengutus Nabi Shallallahu Allahi wa sallam dengannya”.
Ilmu dan
petunjuk dimisalkan dengan ghoits (hujan).
Ilmu
yang dimaksudkan dalam hadist ini adalah Ilmu Syar’i (Ilmu Agama). Ilmu tersebut
dimisalkan dengan ghoits yaitu hujan yang bermanfaat, tidak rintik dan
tidak pula terlalu deras. Ghoits dalam Al Qur’an dan As Sunnah sering
digunakan untuk hujan yang bermanfaat berbeda dengan Al Maa’ dan Al Mathr
yang sama-sama bermakna hujan. Adapun al mathr, kebanyakan digunakan
untuk hujan yang turun dari langit, namun untuk hujan yang mendatangkan bahaya,
sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
Dan kami hujani
mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang
yang telah diberi peringatan itu (QS.As Syu’ara : 173)
Sedangkan
mengenai ghoits, Allah Ta’ala berfirman :
“Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi
hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur (QS.Yusuf : 49)
Ilmu sebab
hidupnya hati
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Nabi Shalllahu Alahi Wa Sallam menyerupakan Ilmu (wahyu) yang
beliau bawa dengan hujan karena ilmu dan hujan adalah sebab adanya kehidupan.
Hujan adalah sebab adanya hidupnya jasad. Sedangkan ilmu adalah sebab hidupnya
hati. Hati sendiri dimisalkan dengan lembah. sebagaimana hal ini terdapat pada
firman Allah Ta’ala :
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah
air di lembah-lembah menurut ukurannnya.” (QS Ar Ro’du:17)
Manusia
bertingkat-tingkat dalam mengambil faedah ilmu
An Nawawi-rahimahullah
mengatakan adapun makna hadis dan maksudnya di dalamnya terdapat permisalan
bagi petunjuk Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam dengan al ghoits (hujan
yang bermanfaat). Juga terdapat kandungan dalam hadist ini bahwa tanah itu ada
tiga macam, begitu pula manusia.
Ø Jenis pertama adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan. Tanah tersebut
menjadi setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan tanaman. akhirnya
manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan ternak dan tanaman lainnya
dapat tumbuh di tanah tersebut.
Begitupula
manusia jenis pertama. dia mendapatkan petunjuk dan ilmu. dia pun menjaganya
(menghafalkannnya) kemudian hatinya menjadi hidup. dia pun mengamalkan dan
mengajrakan ilmu yang dimiliki kepada orang lain. akhirnya, ilmu tersebut
bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi yang lainnya.
Ø Jenis kedua adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri,
namun bermanfaat bagi orang lain. tanah ini menahan air sehingga dapat
dimanfaatkan oleh yang lain. manusia dan hewan ternak dapat mengambil manfaat
darinya.
Begitupula
manusia jenis kedua. dia memiliki ingatan yang bagus. akan tetapi, dia tidak
memiliki pemahaman yang cerdas. dia juga kurang bagus dalam menggali faedah dan
hukum. dia pun kurang dalam berijtihad dalam ketaatan dan
mengamalkannya.manusia jenis ini memilki banyak hafalan. ketika orang lain yang
membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga yang sangat ingin memberi
manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya, dia datang menghampiri manusia
jenis ini, maka diapun mengambil ilmu dari manusia yang punya banyak hafalan
tersebut. orang lain mendapatkan manfaat darinya, sehingga dia tetap dapat
memberi manfaat pada yang lainnya.
Ø Jenis ketiga adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh diatasnya. tanah
jenis ini dapat menyerap air dan tidak pula menampungnya untuk dimanfaatkan
orang lain.
Qurtubhi dan
selainnya-rahimahumullah-mengatakan, Nabi Shallahu Alihi Wa Sallam mengambil
permisalan terhadap ajaran agama yang beliau bawa dengan al ghoits yang
turun ketika sangat dibutuhkan (ketika tanah dalam keadaan tandus, pen). Begitupula
keadaan manusia sebelum diutusnya Nabi
Shallahu Alaihi Wa Sallam. Sebagaimana tanah dapat menghidupkan daerah
yang tandus, begitu pula dengan Ilmu Agama (Ilmu Syar’i) dapat menghidupkan
hati yang mati. kemudian Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam menyerupakan orang yang
mendengar wahyu dengan berbagai macam tanah yang mendapat air hujan.[2]
3.
Keutamaan Ilmu dan Berilmu
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, begitu Nabi bersabda. “menuntut
ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). karena memiliki
ilmu bisa membuat seseorang jadi mulia, baik dihadapan manusia juga dihadapan Allah.
sebaliknya ketiadaan ilmu pun dapat membuat manusia hina sehingga derajatnya
lebh rendah daripada binatang.
Mengutip kata-kata bijak dari seorang penyair “ ilmu adalah
kehidupan hati yang buta, cahaya penglihatan dari kegelapan dan kekuatan bagi
kelemahan badan, dengannya seorang hamba mencapai derajat orang-orang yang baik
dan derajat yang paling tinggi”. Mengingat ilmu sebanding (pahalanya)
dengan puasa, dan mempelajarinya sebanding dengan Shalat Malam dan dengan ilmu itu pula manusia bisa
terangkat derajatnya sesuai dengan firman Allah swt :
“........Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan” (Q.S Al Mujaadilah (58) :11)
Orang alim yang memiliki keutamaan ialah orang alim yang mengamalkan
ilmunya apabila ia tidak mengamalkan ilmunya maka tidak ada keutamaan yang
dimilikinya, bahkan adakalanya ia mendapatkan siksaan yang lebih berat daripada
orang lain. Ia menerima demikian karena sikapnya yang menyesatkan sedangkan Allah
telah memberinya ilmu yang dapat menuntunnya ke jalan petunjuk. Di dalam sebuah
hadist lain disebutkan :
Adapun yang
engkau lihat sedang menguliti kepalanya, maka ia adalah seorang yang telah
diajarkan oleh Allah tentang Al Qur’an, tetapi ia tidur melupakannya dan tidak
mengamalkannya.
Perumpamaan orang alim dengan orang jahil, ibarat rembulan dengan
semua bintang pada malam hari karena hanya rembulanlah yang tampak jelas
sedangkan semua bintang tidak demikian, demikian pula orang alim hanya dialah
yang terpandang di kalangan penduduk bumi, selain dari itu orang alim kelak di
akhirat akan peroleh derajat yang tinggi dan kedudukan yang besar. Ia akan
ditempatkan dekat sisi Rabbnya, dapat mendengar Kalam-Nya dan melihat Dzat
yang maha mulia yang terakhir ini merupakan nikmat paling tiada bandingnya di
dalam syurga.
Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi yang
menggantikan mereka dalam menyampaikan syariat dan petunjuk kepada umat
manusia. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, maksudnya
mereka sama sekali tidak meninggalkan hal tersebut barang sedikitpun sewaktu
mereka wafat. Sesunggunya mereka hanya meninggalkan ilmu yang diturunkan kepada
para ulama dengan demikian ulama merupakan peranatara antara Allah dan
hamba-hamba-Nya sesudah para Nabi tiada.
Barangsiapa mengambil ilmu agama berarti ia telah memperoleh bagian
yang paling besar dan kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat (Al Hadist)
Bahkan dalam kitab Ihya Ulumuddin susunan Imam Ghazali disebut
bahwa Nabi berkata : “ Di akhirat nanti tinta ulama ditimbang dengan darah
para syuhada.ternyata lebih berat adalah tinta ulama”. Nabi juga berkata
bahwa “ meninggalnya 1kabilah (penduduk 1 kampung) lebih ringan daripada
meninggalnya seorang ulama” . Itulah kemuliaan orang yang berilmu.[3]
4.
Hubungan Ilmu Dan Amal
Ilmu
adalah imamnya amal perbuatan. amal perbuatan adalah pengikutnya. jadi
seseorang terlebih lagi bila dia itu muslim sebaiknya berilmu dahulu baru
kemudian beramal supaya terhindar dari taqlid buta. asal mengikuti saja
tanpa tahu dasar hukum, sebab musabab dan pola pikir sesuatu yang akan kita jadikan
rujukan panutan dalam berbuat.[4]
Perbandingan kemuliaan
yang dimiliki oleh orang alim dengan kemuliaann yang dimiliki oleh orang ahli
ibadah sama dengan perbandingan kemuliaan antara kemuliaan yang dimiliki Nabi Saw
dengan kemuliaan sahabatnya yang paling kecil. Bahkan sahabat Ibnu Abbas ra
telah menceritakan, bahwa nabi bersabda:
Seorang yang alim dalam ilmu syariat jauh lebih ditakuti setan
daripada seribu orang ahli ibadah (yang tidak alim).
Seorang yang
ahli dalam ilmu syariat jauh lebih ditakuti setan daripada seribu orang ahli
ibadah yang tidak alim, karena orang alim tahu dan paham akan seluk beluk
syariat sehingga tidak mudah tergoda rayuan syetan dengan kata lain hal itu
bisa membahayakan setan.
BAB III PENUTUP
An Nawawi rahimahullah
mengatakan
Dalam hadis ini
terdapat beberapa pelajaran diantaranya adalah permisalan petunjuk dan ilmu. juga
didalamnya adalah terdapat pelajaran mengenai keutamaan ilmu dan orang orang
yang mengajarkan ilmu serta dorongan untuk memiliki Ilmu Syar’i dan mendakwahkannya.
dalam hadist ini juga terdapat celaan terhadap orang yang menjauhi dari Ilmu
Syar’i Wallahu Allam (Syarah Muslim, 15/48)
Inilah
penjelasan singkat mengenai hadis Matsalu Maa Ba’atsaniyallahu....
sungguh jika seorang betul-betul merenungkannya tentu dia akan termotivasi
untuk mempelajari ilmu syar’i (ilmu agama), mempelajari aqidah yang
benar dan ajaran nabi yang shahih, juga dia akan termotivasi untuk menjaga dan
menghafalkan ilmu tersebut. juga agar dia mendapatkan keutamaan lebih dan tentu
saja hal ini lebih penting, yaitu hendaknya seseorang berusaha memahami apa
yang dia ilmui sehingga dapat bermanfaat untuk dirinya sendiri. setelah itu,
hendaklah setiap muslim dapat menjadi insan yang selalu bermanfaat kepada orang
lain.
Dari Jabir, Nabi
Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sebaik-baik
manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain (Al Jaami’ Ash
Shogir, no.11608)
Manfaat yang
dapat diberikan adalah dengan mendakwahkan ilmu, baik melalui hafalan yang
dimiliki atau ditambah lagi dengan pemahaman mendalam terhadap ilmu tersebut. sungguh
sangat banyak cara untuk belajar dan berdakwah saat ini, bisa melalui berbagai
macam media seperti media cetak ataupun dunia maya (dunia internet), namun
janganlah seseorang menjadi orang yang tercela karena enggan mempelajari ilmu
syar’i, enggan mengamalkan dan enggan mendakwahkannya.
Semoga Allah memberikan
kita keistiqomahan dalam mencari ilmu di dunia ini. Semoga Allah memberikan
kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan sholeh. Amiin.
Daftar Pustaka
Ali Nashif,
Syekh Mansyur.1993.Mahkota Pokok-Pokok Hadist Rasulullah Saw.Bandung
:Sinar Baru.
As’ad,
Aliy.1978.Terjemah Ta’limul Muta’alim.Yogyakarta : Menara Kudus.
Asy Sya’rawi,
M.Mutawalli.1993.Rezeki. Jakarta : Gema Insani Press.
Suria Sumantri,
Jujun S.1984.Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta : Sinar
Harapan.
Terjemahan
Hadis Arba’in An Nawawiyah
As Sya’rawi, M.Mutawalli.
2000.Sejarah Perkembangan Hadis.Jakarta : Gema Insani press
[1]
Dikutip langsung dari
buku Asy Sya’rawi, M.Mutawalli.2000. Sejarah Perkembangan Hadist.
Jakarta : Gema Insani Press.hal 34.
[2]
Dikutip dari buku Ali
Nashif, Syekh Mansyur.1993.Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasululah.Bandung :
Sinar Baru.hal 137-145
[3] Hadis Arba’in An-Nawawiyah
[4] Suriasumantri, Jujun S.1984.Filsafat
Ilmu Sebuah Oengantar Populer.Jakarta : Sinar Harapan.hal.56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar