Jumat, 28 Agustus 2015

KEUTAMAAN BERILMU (Sebuah Kajian Hadist Tarbiyah)

KEUTAMAAN BERILMU (Sebuah Kajian Hadist Tarbiyah)
Ditulis Oleh A.Aziz Rahmani, S.Pd Pada Selasa, 25 Agustus 2015 (10 Dzulqaidah 1436 H)
BAB I PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Ilmu merupakan suatu fadilah dan kemulian yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah SWT. Orang yang diberikan kesempatan oleh Allah SWT memiliki ilmu yang banyak, maka dia sesungguhnya telah mendapatkan suatu anugerah dan manfaat yang besar sekali dengan ilmunya tersebut. Karena dengannya dia dapat mengetahui dan memahami makna dari kehidupan ini secara benar dan hakiki.
Ilmu merupakan sebaik-baiknya perbuatan amal shaleh, ia juga merupakan sebaik-baiknya amal ibadah yaitu ibadah sunnah, karena ilmu merupakan bagian dari jihad di jalan Allah SWT. Jika kita berpikir sejenak, dapat diketahui bahwa Agama itu terdiri dari 2 unsur yaitu Ilmu dan Petunjuk.
Mengutip kata-kata bijak dari seorang penyair “Ilmu adalah kehidupan hati yang buta, cahaya penglihatan dari kegelapan dan kekuatan bagi kelemahan badan, dengannya seorang hamba mencapai derajat orang-orang yang baik dan derajat yang paling tinggi”. Mengingat Ilmu sebanding (pahalanya) dengan puasa dan memepelajarinya sebanding dengan Shalat Malam. Ilmu adalah Imamnya amal perbuatan, amal perbuatan adalah pengikutnya. Ilmu memberikan ilham kepada orang-orang yang berbahagia dan menjauhi orang-orang yang menderita.
Maka kedudukan Ilmu menjadi lebih tinggi dari Amal perbuatan. Ilmu dalam gramatikal bahasa arab terdiri atas tiga konsonan huruf hijaiyah yaitu (ain, (lam dan (mim. Huruf hija’iyah (ain mencirikan bahwa orang yang berilmu itu memiliki kedudukan yang tinggi baik dalam tatanan sosial kemasyarakatan ataupun dalam struktural jabatan pada sebuah instansi atau perusahaan. Selanjutnya, Huruf (lam pada kata tersebut melambangkan sifat lemah lembut (bahasa arab  : latifah) artinya orang yang berilmu memiliki sifat lembah lembut, rendah hati, sopan dan santun baik dalam bertutur kata ataupun dalam perbuatan. Kemudian huruf (mim mim terhubung dengan kata Mahabbah (kasih sayang) artinya orang berilmu cenderung memiliki sifat penyayang, pengayom dan memiliki jiwa penolong.
Ilmu dapat membawa seseorang kepada kebahagiaan karena dapat memberikan kemudahan dan kemewahan hidup bagi penggunannaya. Akan tetapi apa yang mampu dicapai ilmu dan dilakukan para ilmuwan (orang yang berilmu) hanyalah sebatas pada hal mendapatkan (kemudahan dan kemewahan) bukan menciptakan kebutuhannya. Bukan itu saja akan tetapi dalam berbagai pintu rezeki di dunia ini, pencapaiannya tidak bisa mencapai dan meningkat hingga ke dasar-dasar kehidupan, karena kebutuhan hidup sudah tercipta berkat Kodrat Iradat Allah SWT.
Sebagaimana hal tersebut diatas sebenarnya sudah diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis yang berbunyi :
“ Barangsiapa yang menginginkan kehidupan (kemudahan dan kemewahan) hidup di dunia maka haruslah dengan ilmu, barang siapa menginginkan kehidupan (kemudahan dan kemewahan) hidup di akhirat haruslah dengan ilmu dan barangsiapa pula yang mengingankan keduanya maka haruslah dengan ilmu.

Hadist tersebut secara mendalam menyiratkan pentingnya dan utamanya sebuah ilmu.

2.      RUMUSAN MASALAH
a)      Menerangkan Sanad, Matan dan Rawi Hadist
b)      Menjelaskan Terjemahan Hadist
c)      Menjelaskan Tentang Keutamaan Ilmu dan Berilmu
d)     Menerangkan Hubungan Imu dan Amal

3.      TUJUAN
a)      Mengetahui Musnid (orang yang disanadkan dalam hadis), matan isi hadis dan siapa yang meriwayatkannya
b)      Mengetahui dan memahami makna dari terjemahan hadist baik tersurat maupun tersirat
c)      Mengetahui dan memahami keutamaan ilmu dan orang berilmu
d)     Mengetahui dan memahami hubungan antara ilmu dan amal

BAB II PEMBAHASAN
1.      Sanad, Matan dan Rawi Hadist
Berikut adalah sebuah hadist yang patut direnungkan bersama yang menjelaskan mengenai keutamaan orang yang berilmu (agama) dan yang mendakwahan ilmu.
Dari Abu Musa , Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam :

مثل ما بعثنى ا لله به من ا لهد ى والعلم كمثل الغيث الكثير آصاب آرضا فكان منها نقية قبلت الماءفا نبتت الكلا
و الغشب الكثيروكانت منها اجادب امسكت آلماءفنفع الله بهاالناس فشربواوسقواوزرعواواصاب منها طاافة اخرى
انما هى ق يعانل لا تمسك ماءولا تنبت كلا فذلك مثل من فقه فى دين الله ونفعه ما بعثنى الله به فعلم وعلم ومثل من
لم يرفع بذ لك ر آساولم يقبل هدى ا لله الذى آرسلت به (رواه الشيخان)

Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Turmudzi dengan sanad yang hasan.
A.     Sanad
Sanad menurut bahasa artinya sandaran, sedangkan menurut istilah ahli hadist yaitu jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadist.
Hadist tersebut diatas sebagaimana kita ketahui adalah berasal dari Abu Musa. Abu Musa sendiri adalah termasuk ke dalam salah seorang Sahabat Nabi. Oleh karena hadist ini dikabarkan oleh orang seorang dari kalangan sahabat sehingga kemudian tersebar luas. Ini dapat digolongkan kepada hadist yang masyhur.
Adapun dari segi sanadnya para ulama hadis menggolongkan Abu Musa ke dalam derajat sanad (sandaran) yang hasan (satu tingkat dibawah derajat shahih)[1].

B.     Matan
Matan menurut bahasa artinya belakang jalan (muka jalan). Matan kitab yang tidak bersifat komentar dan bukan tambahan-tambahan. matan lughat yaitu : kata-kata tunggalnya sedangkan matan dalam ilmu hadist ialah penghujung sanad yakni sabda Nabi yang disebut sesudah habis disebutkan sanad.
Adapun yang menjadi matan (isi hadist) adalah

مثل ما بعثنى ا لله به من ا لهد ى والعلم كمثل الغيث الكثير آصاب آرضا فكان منها نقية قبلت الماءفا نبتت الكلا
و الغشب الكثيروكانت منها اجادب امسكت آلماءفنفع الله بهاالناس فشربواوسقواوزرعواواصاب منها طاافة اخرى
انما هى ق يعانل لا تمسك ماءولا تنبت كلا فذلك مثل من فقه فى دين الله ونفعه ما بعثنى الله به فعلم وعلم ومثل من
لم يرفع بذ لك ر آساولم يقبل هدى ا لله الذى آرسلت به

C.     Rawi Hadist
Riwayat menurut bahasa : memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadis :”memindahkan hadist dari seseorang guru kepada orang lain, atau mengklasifikasikan ke dalam kategori hadist. Pemindah hadis itu dinamai  rawi, rawi pertama adalah sahabat dan rawi terakhir adalah yang menuliskannya ke dalam kitab hadist. Seperti Bukhari dalam Kitab Sahih Bukhari ataupun dalam kitab hadist yang lain.
Adapun mengenai hadist tentang keutamaan bagi ilmu dan yang memilikinya (berilmu) diatas diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Turmuzi sehingga disebut Syaikhain (dua orang syaikh hadis). Syaikhain ini menyusun kitab hadis       As Sunan yaitu suatu kitab hadis yang pengarangnya tiada memasukkan kedalamnya hadist yang mungkar dan sejenisnya. Adapun hadis-hadis dhaif yang tidak mungkar dan tidak sangat lemah, terdapat juga di dalamnya dan kebanyakan diterangkan akan kedhaifannya oleh pengarang kitab itu sendiri. Kitab hadis yang ditulis oleh dua imam ini tersusun pada abad ketiga hijriah.

2.      Terjemahan Hadist
Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Diantaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap kedalamnya) maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga  manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya, jenis tanah ketiga adalah tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). inilah permisalan orang yang memahami Agama Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya (HR.Syaikhain)

Selain diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At Turmuzi. Imam Bukhari dan Imam Muslim membawakan hadist ini dalam kitab Shahihnya pada bab “orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu.” Imam An Nawawi membawakan hadist ini dalam Shahih Muslim pada bab “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutus Nabi Shallallahu Allahi wa sallam dengannya”.

Ilmu dan petunjuk dimisalkan dengan ghoits (hujan).

Ilmu yang dimaksudkan dalam hadist ini adalah Ilmu Syar’i (Ilmu Agama). Ilmu tersebut dimisalkan dengan ghoits yaitu hujan yang bermanfaat, tidak rintik dan tidak pula terlalu deras. Ghoits dalam Al Qur’an dan As Sunnah sering digunakan untuk hujan yang bermanfaat berbeda dengan Al Maa’ dan Al Mathr yang sama-sama bermakna hujan. Adapun al mathr, kebanyakan digunakan untuk hujan yang turun dari langit, namun untuk hujan yang mendatangkan bahaya, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
Dan kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu (QS.As Syu’ara : 173)
Sedangkan mengenai ghoits, Allah Ta’ala berfirman :
“Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur (QS.Yusuf : 49)

Ilmu sebab hidupnya hati

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Nabi Shalllahu Alahi Wa Sallam menyerupakan Ilmu (wahyu) yang beliau bawa dengan hujan karena ilmu dan hujan adalah sebab adanya kehidupan. Hujan adalah sebab adanya hidupnya jasad. Sedangkan ilmu adalah sebab hidupnya hati. Hati sendiri dimisalkan dengan lembah. sebagaimana hal ini terdapat pada firman Allah Ta’ala :
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannnya.” (QS Ar Ro’du:17)

Manusia bertingkat-tingkat dalam mengambil faedah ilmu

An Nawawi-rahimahullah mengatakan adapun makna hadis dan maksudnya di dalamnya terdapat permisalan bagi petunjuk Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam dengan al ghoits (hujan yang bermanfaat). Juga terdapat kandungan dalam hadist ini bahwa tanah itu ada tiga macam, begitu pula manusia.
Ø  Jenis pertama adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan. Tanah tersebut menjadi setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan tanaman. akhirnya manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan ternak dan tanaman lainnya dapat tumbuh di tanah tersebut.
Begitupula manusia jenis pertama. dia mendapatkan petunjuk dan ilmu. dia pun menjaganya (menghafalkannnya) kemudian hatinya menjadi hidup. dia pun mengamalkan dan mengajrakan ilmu yang dimiliki kepada orang lain. akhirnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi yang lainnya.
Ø  Jenis kedua adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, namun bermanfaat bagi orang lain. tanah ini menahan air sehingga dapat dimanfaatkan oleh yang lain. manusia dan hewan ternak dapat mengambil manfaat darinya.
Begitupula manusia jenis kedua. dia memiliki ingatan yang bagus. akan tetapi, dia tidak memiliki pemahaman yang cerdas. dia juga kurang bagus dalam menggali faedah dan hukum. dia pun kurang dalam berijtihad dalam ketaatan dan mengamalkannya.manusia jenis ini memilki banyak hafalan. ketika orang lain yang membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga yang sangat ingin memberi manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya, dia datang menghampiri manusia jenis ini, maka diapun mengambil ilmu dari manusia yang punya banyak hafalan tersebut. orang lain mendapatkan manfaat darinya, sehingga dia tetap dapat memberi manfaat pada yang lainnya.
Ø  Jenis ketiga adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh diatasnya. tanah jenis ini dapat menyerap air dan tidak pula menampungnya untuk dimanfaatkan orang lain.
Qurtubhi dan selainnya-rahimahumullah-mengatakan, Nabi Shallahu Alihi Wa Sallam mengambil permisalan terhadap ajaran agama yang beliau bawa dengan al ghoits yang turun ketika sangat dibutuhkan (ketika tanah dalam keadaan tandus, pen). Begitupula keadaan manusia sebelum diutusnya Nabi  Shallahu Alaihi Wa Sallam. Sebagaimana tanah dapat menghidupkan daerah yang tandus, begitu pula dengan Ilmu Agama (Ilmu Syar’i) dapat menghidupkan hati yang mati. kemudian Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam menyerupakan orang yang mendengar wahyu dengan berbagai macam tanah yang mendapat air hujan.[2]


3.      Keutamaan Ilmu dan Berilmu
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, begitu Nabi bersabda. “menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). karena memiliki ilmu bisa membuat seseorang jadi mulia, baik dihadapan manusia juga dihadapan Allah. sebaliknya ketiadaan ilmu pun dapat membuat manusia hina sehingga derajatnya lebh rendah daripada binatang.
Mengutip kata-kata bijak dari seorang penyair “ ilmu adalah kehidupan hati yang buta, cahaya penglihatan dari kegelapan dan kekuatan bagi kelemahan badan, dengannya seorang hamba mencapai derajat orang-orang yang baik dan derajat yang paling tinggi”. Mengingat ilmu sebanding (pahalanya) dengan puasa, dan mempelajarinya sebanding dengan Shalat  Malam dan dengan ilmu itu pula manusia bisa terangkat derajatnya sesuai dengan firman Allah swt :
“........Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S Al Mujaadilah (58) :11)
Orang alim yang memiliki keutamaan ialah orang alim yang mengamalkan ilmunya apabila ia tidak mengamalkan ilmunya maka tidak ada keutamaan yang dimilikinya, bahkan adakalanya ia mendapatkan siksaan yang lebih berat daripada orang lain. Ia menerima demikian karena sikapnya yang menyesatkan sedangkan Allah telah memberinya ilmu yang dapat menuntunnya ke jalan petunjuk. Di dalam sebuah hadist lain disebutkan :
Adapun yang engkau lihat sedang menguliti kepalanya, maka ia adalah seorang yang telah diajarkan oleh Allah tentang Al Qur’an, tetapi ia tidur melupakannya dan tidak mengamalkannya.
Perumpamaan orang alim dengan orang jahil, ibarat rembulan dengan semua bintang pada malam hari karena hanya rembulanlah yang tampak jelas sedangkan semua bintang tidak demikian, demikian pula orang alim hanya dialah yang terpandang di kalangan penduduk bumi, selain dari itu orang alim kelak di akhirat akan peroleh derajat yang tinggi dan kedudukan yang besar. Ia akan ditempatkan dekat sisi Rabbnya, dapat mendengar Kalam-Nya dan melihat Dzat yang maha mulia yang terakhir ini merupakan nikmat paling tiada bandingnya di dalam syurga.
Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi yang menggantikan mereka dalam menyampaikan syariat dan petunjuk kepada umat manusia. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, maksudnya mereka sama sekali tidak meninggalkan hal tersebut barang sedikitpun sewaktu mereka wafat. Sesunggunya mereka hanya meninggalkan ilmu yang diturunkan kepada para ulama dengan demikian ulama merupakan peranatara antara Allah dan hamba-hamba-Nya sesudah para Nabi tiada.
Barangsiapa mengambil ilmu agama berarti ia telah memperoleh bagian yang paling besar dan kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat (Al Hadist)
Bahkan dalam kitab Ihya Ulumuddin susunan Imam Ghazali disebut bahwa Nabi berkata : “ Di akhirat nanti tinta ulama ditimbang dengan darah para syuhada.ternyata lebih berat adalah tinta ulama”. Nabi juga berkata bahwa “ meninggalnya 1kabilah (penduduk 1 kampung) lebih ringan daripada meninggalnya seorang ulama” . Itulah kemuliaan orang yang berilmu.[3]

4.      Hubungan Ilmu Dan Amal
Ilmu adalah imamnya amal perbuatan. amal perbuatan adalah pengikutnya. jadi seseorang terlebih lagi bila dia itu muslim sebaiknya berilmu dahulu baru kemudian beramal supaya terhindar dari taqlid buta. asal mengikuti saja tanpa tahu dasar hukum, sebab musabab dan pola pikir sesuatu yang akan kita jadikan rujukan panutan dalam berbuat.[4]
Perbandingan kemuliaan yang dimiliki oleh orang alim dengan kemuliaann yang dimiliki oleh orang ahli ibadah sama dengan perbandingan kemuliaan antara kemuliaan yang dimiliki Nabi Saw dengan kemuliaan sahabatnya yang paling kecil. Bahkan sahabat Ibnu Abbas ra telah menceritakan, bahwa nabi bersabda:
Seorang yang alim dalam ilmu syariat jauh lebih ditakuti setan daripada seribu orang ahli ibadah (yang tidak alim).
Seorang yang ahli dalam ilmu syariat jauh lebih ditakuti setan daripada seribu orang ahli ibadah yang tidak alim, karena orang alim tahu dan paham akan seluk beluk syariat sehingga tidak mudah tergoda rayuan syetan dengan kata lain hal itu bisa membahayakan setan.

BAB III PENUTUP

An Nawawi rahimahullah mengatakan
Dalam hadis ini terdapat beberapa pelajaran diantaranya adalah permisalan petunjuk dan ilmu. juga didalamnya adalah terdapat pelajaran mengenai keutamaan ilmu dan orang orang yang mengajarkan ilmu serta dorongan untuk memiliki Ilmu Syar’i dan mendakwahkannya. dalam hadist ini juga terdapat celaan terhadap orang yang menjauhi dari Ilmu Syar’i Wallahu Allam (Syarah Muslim, 15/48)
Inilah penjelasan singkat mengenai hadis Matsalu Maa Ba’atsaniyallahu.... sungguh jika seorang betul-betul merenungkannya tentu dia akan termotivasi untuk mempelajari ilmu syar’i (ilmu agama), mempelajari aqidah yang benar dan ajaran nabi yang shahih, juga dia akan termotivasi untuk menjaga dan menghafalkan ilmu tersebut. juga agar dia mendapatkan keutamaan lebih dan tentu saja hal ini lebih penting, yaitu hendaknya seseorang berusaha memahami apa yang dia ilmui sehingga dapat bermanfaat untuk dirinya sendiri. setelah itu, hendaklah setiap muslim dapat menjadi insan yang selalu bermanfaat kepada orang lain.
Dari Jabir, Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain (Al Jaami’ Ash Shogir, no.11608)
Manfaat yang dapat diberikan adalah dengan mendakwahkan ilmu, baik melalui hafalan yang dimiliki atau ditambah lagi dengan pemahaman mendalam terhadap ilmu tersebut. sungguh sangat banyak cara untuk belajar dan berdakwah saat ini, bisa melalui berbagai macam media seperti media cetak ataupun dunia maya (dunia internet), namun janganlah seseorang menjadi orang yang tercela karena enggan mempelajari ilmu syar’i, enggan mengamalkan dan enggan mendakwahkannya.
Semoga Allah memberikan kita keistiqomahan dalam mencari ilmu di dunia ini. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan sholeh. Amiin.

Daftar Pustaka

Ali Nashif, Syekh Mansyur.1993.Mahkota Pokok-Pokok Hadist Rasulullah Saw.Bandung :Sinar Baru.
As’ad, Aliy.1978.Terjemah Ta’limul Muta’alim.Yogyakarta : Menara Kudus.
Asy Sya’rawi, M.Mutawalli.1993.Rezeki. Jakarta : Gema Insani Press.
Suria Sumantri, Jujun S.1984.Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta : Sinar Harapan.
Terjemahan Hadis Arba’in An Nawawiyah
As Sya’rawi, M.Mutawalli. 2000.Sejarah Perkembangan Hadis.Jakarta : Gema Insani press




[1] Dikutip langsung dari buku Asy Sya’rawi, M.Mutawalli.2000. Sejarah Perkembangan Hadist. Jakarta : Gema Insani Press.hal 34.
[2] Dikutip dari buku Ali Nashif, Syekh Mansyur.1993.Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasululah.Bandung : Sinar Baru.hal 137-145
[3] Hadis Arba’in An-Nawawiyah
[4] Suriasumantri, Jujun S.1984.Filsafat Ilmu Sebuah Oengantar Populer.Jakarta : Sinar Harapan.hal.56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar